Prasasti Bukti Kerajaan Sriwijaya beribukota di Palembang
TERLEBIH
DAHULU perlu dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “prasasti”
(inscription) ialah sumber-sumber sejarah dari masa lampau yang tertulis di
atas batu atau logam. Sampai saat ini di daerah Sumatera bagian selatan telah
ditemukan enam buah prasasti dari Kerajaan Sriwijaya. Tiga di antaranya
ditemukan di Palembang, yaitu Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo,
dan Prasasti Telaga Batu. Ketiga prasasti lainnya adalah Prasasti
Kota Kapur di Bangka, Prasasti Karang Berahi di Jambi, dan Prasasti
Palas Pasemah di Lampung. Di samping keenam prasasti di atas, telah ditemukan
pula lima buah pecahan prasasti (fragmen prasasti yang tidak utuh) di
Palembang. Perlu juga diketahui bahwa semua prasasti Sriwijaya memakai huruf
Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Dalam
tulisan ini kita hanya akan membicarakan “prasasti-prasasti persumpahan”,
yaitu prasasti-prasasti yang berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang
menentang atau tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya. Istilah “parsumpahan”
memang berasal dari raja Sriwijaya sendiri, sebagaimana tercantum dalam
prasasti-prasasti semacam itu. Prasasti Sriwijaya yang tergolong "Prasasti
Persumpahan" adalah prasasti-prasasti Telaga Batu, Kota Kapur,
Karang Berahi, dan Palas Pasemah. Barangkali pada masa mendatang
masih akan ditemukan prasasti persumpahan yang lain.
Prasasti
TELAGA BATU
ditemukan pada tahun 1935 di Telaga Batu, Sabukingking 2 Ilir, Palembang.
Terdiri dari 28 baris, dihiasi lambang negara Sriwijaya berupa naga berkepala
tujuh. Kini tersimpan di Museum Pusat, Jakarta, dengan nomor D.155. Prasasti
ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Prof. Dr. Johannes Gijsbertus de
Casparis dalam buku: J.G. de Casparis, Prasasti Indonesia II: Selected
Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik
Indonesia, Masa Baru, Bandung, 1956.
Prasasti
KOTA KAPUR ditemukan
pada tahun 1892 di Kota Kapur, Pangkal Mundo, pantai barat Pulau Bangka.
Terdiri dari 10 baris, dan di Museum Pusat bernomor D.90. Prasasti ini pertama
kali dibahas oleh Prof. Dr. Hendrik Kern dalam artikel: H. Kern, “De Inscriptie
van Kota Kapur”, Bijdragen Koninklijk Instituut (BKI), deel 67, 1913.
Prasasti
KARANG BERAHI ditemukan
pada tahun 1904 di daerah Karang Berahi, Jambi. Terdiri dari 16 baris,
mula-mula ditranskripsikan oleh Prof. Dr. Nicholaas Johannes Krom dalam
artikel: N.J. Krom, “De Inscriptie van Karang Brahi”, Tijdschrift Bataviaasch
Genootschap (TBG), deel 59, 1920.
Prasasti
PALAS PASEMAH
ditemukan pada tahun 1957 di Palas Pasemah, daerah Kalianda, Lampung. Terdiri
dari 13 baris, namun baris ke-1 sampai ke-3 hilang. Isi prasasti mula-mula
dibahas oleh Prof. Dr. Buchari dalam artikel: Buchari, “An Old Malay
Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, Pra Seminar
Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional,
Jakarta, 1979.
Dari
keempat buah prasasti persumpahan di atas, hanya satu yang berangka tahun,
yaitu Prasasti Kota Kapur yang dipahat pada tahun 608 Saka (686 Masehi). Oleh
karena isi prasasti-prasasti ini hampir sama, maka sangat mungkin semua
prasasti persumpahan tersebut dipahat pada tahun yang sama.
Siapakah
Raja Sriwijaya yang mengeluarkan prasasti-prasasti persumpahan itu ? Marilah
kita lihat isi Prasasti Talang Tuwo dipahat dua tahun sebelumnya
(684 Masehi) yang ditemukan di Kaki Bukit Siguntang sebelah barat Kota
Palembang. Prasasti Talang Tuwo diawali dengan kalimat :
swasti çri. çakawarsatita 606 dim dwitiya çuklapaksa wulan caitra,
sana tatkalanya parlak çriksetra ini niparwuat, parwan dapunta hyang çri
jayanaça.
Terjemahan
:
“Bahagia,
sukses. Tahun Saka berlalu 606 hari kedua paroterang bulan Caitra (= 23 Maret
684), itu waktunya taman Sriksetra ini diperbuat, titah Dapunta Hyang Sri
Jayanasa.”
Di
sini kita memperoleh nama lengkap raja Sriwijaya : Dapunta Hyang Sri
Jayanasa. Jika antara tahun 684 dan 686 tidak ada pergantian raja, maka
kiranya dia itulah yang mengeluarkan "prasasti-prasasti
persumpahan".
Pada
baris terakhir Prasasti Kota Kapur tercantum keterangan sebagai berikut
:
çakawarsatita 608 dim pratipada çuklapaksa wulan waiçakha,
tatkalanya yang mangmang sumpah ini nipahat, di welanya yang wala çriwijaya
kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhakti ka çriwijaya.
Terjemahan :
“Tahun
Saka berlalu 608 hari pertama paroterang bulan Waisaka (= 28 Februari 686),
waktunya mantra sumpah ini dipahat, ketika tentara Sriwijaya berlewat menyerbu
Tanah Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.”
Keterangan
di atas menunjukkan latar belakang dan motivasi pengeluaran prasasti-prasasti
persumpahan oleh raja Sriwijaya. Rupanya Dapunta Hyang Sri Jayanasa kuatir
kalau-kalau timbul pemberontakan dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat
tentara Sriwijaya sedang dikerahkan menyerbu Pulau Jawa. Sebagai tindakan
preventif, Dapunta Hyang mengeluarkan peringatan tegas di seantero wilayah
kekuasaannya, sebagaimana dapat kita baca pada semua prasasti persumpahan :
kadaci yang urang di dalamnya bhumi ajnyanya kadatuan ini parawis,
drohaka wangun, samawuddhi lawan drohaka, mangujari drohaka, niujari drohaka,
tahu dim drohaka, tida ya marpadah, tida ya bhakti, tida ya tatwarjawa di aku
dangan di yang nigalarku sanyasa datua, dhawa wuatnya urang inan, niwunuh ya
sumpah, nisuruh tapik ya mulang parwandan datu çriwijaya, talu muah ya dangan
gotrasantananya.
Terjemahan :
“Manakala
ada orang di dalam daerah kekuasaan kerajaan ini seluruhnya, membangun
kedurhakaan (pemberontakan), kerjasama dengan pendurhaka, menegur pendurhaka,
ditegur pendurhaka, sepaham dengan pendurhaka, dia tidak patuh, dia tidak
berbakti, dia tidak setia kepadaku dengan kepada yang kugelari pemimpin
wilayah, jahatlah perbuatan orang itu, dia akan dibunuh sumpah, dia akan
disuruh gempur atas perintah raja Sriwijaya, akan ditumpas dia dengan segenap
keluarganya.”
Membaca
isi prasasti persumpahan di atas, dapatlah dibayangkan bahwa Dapunta Hyang
merupakan seorang politikus ulung. Sebelum dia melancarkan perluasan wilayah ke
mancanegara, stabilitas dalam negeri sangat diperhatikannya. Sudah tentu
prasasti-prasasti persumpahan itu ditempatkan di negeri-negeri yang
memungkinkan timbulnya pemberontakan. Sampai saat ini prasasti persumpahan baru
ditemukan di Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa
pada tahun 686 kekuasaan Sriwijaya sekurang-kurangnya sudah meliputi
daerah-daerah tersebut.
Adanya
prasasti persumpahan Telaga Batu di Palembang menyebabkan Prof. Dr. Sukmono
menolak lokasi ibukota Sriwijaya di Palembang. Dalam tulisannya “Tentang
Lokalisasi Sriwijaya”, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama,
Volume 5, Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Djakarta, 1958, Sukmono
mengajukan pertanyaan sebagai berikut (disesuaikan dengan EYD 1972): “Kalau
Palembang memanglah ibukota Sriwijaya, dapatkah masuk akal bahwa
kutukan-kutukan yang berupa ancaman sangat mengerikan itu justru diabadikan di
ibukota? Mungkinkah warga ibukota sendiri diancam secara demikian oleh
rajanya?”
Pertanyaan
Prof. Sukmono ini perlu dijawab dengan pertanyaan juga: “Tidakkah masuk akal
bahwa pemberontakan dapat terjadi di ibukota? Bukankah saat itu ibukota kosong
tanpa kekuatan, lantaran tentara sedang dikerahkan untuk menyerbu Tanah Jawa ?”
Pemberontakan
di ibukota justru lebih berbahaya daripada pemberontakan di negeri-negeri
bawahan, karena mungkin dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan Dapunta
Hyang dan langsung menyangkut pusat pemerintahan. Dapunta Hyang tentu tidak
mengabaikan adanya semacam kudeta dari “koalisi besar” para pejabat tinggi kerajaan.
Itulah sebabnya dia memandang perlu untuk memberikan peringatan dan ancaman di
ibukota Sriwijaya.
Dalam
sejarah banyak kita jumpai bahwa seorang penguasa ditikam oleh musuh dalam
selimut, ketika penguasa itu sibuk memikirkan masalah “luar negeri”. Hal ini
terjadi, misalnya, pada raja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari abad ke-13.
Kertanagara mengirimkan tentara Singhasari besar-besaran ke Malayu (Jambi)
untuk mengantisipasi kemungkinan serangan tentara Mongol dari Cina ke
Nusantara, tetapi dia lalai memperhatikan keamanan di Singhasari sendiri. Raja
bawahannya, Jayakatwang dari Kadiri, memanfaatkan situasi untuk menggulingkan
Kertanagara dari tahta kerajaan. Inilah akibatnya jika seorang penguasa
mengabaikan keamanan di ibukota.
Prasasti
Telaga Batu
justru membuktikan bahwa Kerajaan Sriwijaya memang beribukota di Palembang,
sebab prasasti itu menyebutkan banyak jabatan dalam pemerintahan yang hanya
mungkin terdapat di ibukota suatu negara. Isi prasasti Telaga Batu baris ketiga
sampai kelima adalah sebagai berikut :
kamu wanyakmamu, rajaputra, prostara, bhupati, senapati, nayaka,
pratyaya, hajipratyaya, dandanayaka, ....murddhaka, tuhaan watakwuruh,
addhyaksi nijawarna, wasikarana, kumaramatya, çatabatha, adhikarana,
karmma...., kayastha, sthapaka, puhawang, waniyaga, pratisara, kamu marsi haji,
hulun haji, wanyakmamu urang, niwunuh sumpah dari mangmang kamu kadaci tida
bhakti di aku.
Terjemahan :
“Kamu
semua: putra raja, menteri, bupati, panglima, pembesar, pegawai, pegawai
istana, hakim, ....murddhaka, ketua buruh, pengawas rakyat jelata, ahli
senjata, pengurus pemuda, olahragawan, petugas bangunan, karmma..., jurutulis,
arsitek, nakhoda, pedagang, kepala pasukan, kamu pelayan istana, penghuni
istana, semua orang, dibunuh sumpah dari mantra kamu manakala tidak berbakti
kepadaku.”
Jabatan-jabatan di
atas hanya tercantum pada prasasti Telaga Batu, dan tidak disinggung atau
disebutkan pada "prasasti-prasasti persumpahan" yang lain.
Oleh karena jabatan-jabatan itu merupakan jabatan tinggi dalam suatu pemerintahan,
sudah tentu para pejabatnya tinggal di ibukota. Dengan sendirinya prasasti itu
pasti dipasang pada lingkungan yang didiami para pejabat tersebut. Atas dasar
itu dapatlah disimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya berlokasi
di sekitar daerah Telaga Batu, Palembang.
EmoticonEmoticon